Sejarah Yayasan Darut Ta’lim Surabaya
Pondok Pesantren Darut Ta’lim tidak dapat dilepaskan dari perjalanan kehidupan K.H. Syamsul Arifin,Lc. Dengan meminta bantuan K.H. Nawawi (Sesepuh Makam Sunan Ampel Surabaya) sebagai peletak batu pertama pondok pesantren Darut Ta’lim. Masa kecilnya diasuh ayahnya sendiri yaitu KH. Zamahsyari di Pondok Pesantren Taswirul Afkar. Aktifitas menuntut ilmu kemudian dilanjutkan K.H. Syamsul Arifin ZE. Beliau terasa dahaga terhadap ilmu maka kemudian melnjutkan di Pondok pesantren tebuireng di Cukir yang masih diasuh oleh KH. Idris Kamali. Di pondok inilah nampaknya beliau menuntut ilmu lebih lama dibandingkan dengan tempat-tempat sebelumnya beliau belajar, dan pengalaman pertamanya menunaikan ibadah haji dilaksanakan juga sewaktu belajar di pondok pesantren Tebuireng ini saat mendapatkan biasiswa untuk melanjutkan jenjang perguruan tinggi empat tahun selama di Makkah.
Setelah menimba ilmu dengan pertimbangan dan kematangan ilmu sepulangnya K.H Syamsul Arifin belajar dari makkah, beliau mengabdi mengajar lagi dipondok pesantren tebuireng selama 2 tahun. Kemudian beliau kembali kekampungnya untuk mengamalkan ilmunya Aktifitas mengajar dan sebagai aplikasi konkrit pengamalan ilmunya baru dirintis pada tahun 1995 dengan menyelenggarakan kegiatan mengajar Al-Qur’an, tulis menulis huruf arab, cara beribadah dan sebagainya kepada anak-anak di musholla. Waktu belajar relatif singkat, yakni dimulai setelah sholat Ashar sampai denga menjelang sholat Isya’. Jumlah murid K.H. Syamsul Arifin pada waktu itu tidak lebih dari 5 Santri yang notabene berasal dari lingkungan desa Bulak Banteng saja dan dalam waktu yang cukup singkat ketertarikan anak-anak dari desa sekitar untuk ikut belajar sehingga menambah jumlah peserta didik K.H Syamsul Arifin. tidak kurang menjadi 15 Santri. Melihat semangat anak-anak untuk belajar kepada K.H Syamsul Arifin berdampak positif pada golongan orang tua yang juga tertarik untuk bergabung belajar kepada K.H Syamsul Arifin ZE.
Dengan berbagai pertimbangan pada tahun 1996 K.H Syamsul Arifin memutuskan untuk mengajak warga sekitar dan murid-muridnya untuk membuka pengajian untuk umum pertama kalinya di musholla. Legalitas paternalistic nampaknya begitu dipahami oleh K.H Syamsul Arifin, sehingga beliau mengundang orang yang cukup terpandang di kota Surabaya yaitu K.H. Nawawi untuk hadir dalam sholat jum’at yang pertama itu untuk kemudian dimohon memberikan tausiyah kepada para jama’ah. Melihat Realitas demikian mendorong K.H Syamsul Arifin dan tokoh agama sementara musholla selanjutnya dialih fungsikan hanya sekedar untuk belajar dan tempat tinggal santri. Kegiatan belajar masih tetap seperti semula yaitu weton dan sorogan yang diasuh langsung oleh K.H Syamsul Arifin sendiri. Aktifitas belajar-mengajar dan tradisi pesantren yang masih sederhana inilah yang kemudian menjadi cikal bakal pondok pesantren Darut Ta’lim Kenjeran.
Pada awal tahun 1997 benih-benih pengelolaan pesantren semakin tumbuh dengan membuka Madrasah Diniyyah khusus diperuntukkan bagi anak putra yang waktu belajarnya sore hari direncanakan berlangsung selama tiga tahun. Kebijakan demikian menjadi bukti historis bahwa pondok pesantren Darut Ta’lim sejak awal berdirinya berupaya menyesuaikan diri dengan perkembangan dunia modern, tanpa meninggalkan identitas pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam.
Peningkatan kepercayaan masyarakat kepada pondok pesnatren Darut Ta’lim yang semakin bertambah sebagai lembaga pendidikan Islam yang mampu memberikan pendampingan keilmuan kepada generasi muda terbukti dengan semakin bertambahnya santri atau peserta didik yang datang dari dalam maupun luar daerah. Jumlah santri yang begitu besar